Sunday, September 19, 2010

POLIGAMI DALAM PRESPEKTIF FIQH KONTEMPORER

POLIGAMI DALAM PRESPEKTIF FIQH KONTEMPORER
*M. Nur Kholis Al Amin

A.    PENDAHULUAN
Poligami (ta'addud al-zaujah)  jauh sebelum Islam lahir telah menjadi tradisi dan diperaktekkan oleh masyarakat jahiliyah. Sistem poligami pada masa pra Islam tidak dibatasi dengan jumlah tertentu.  Poligami yang terjadi pada masa pra Islam nampak tidak menghargai perempuan dan cenderung hanya untuk memuaskan keinginan kaum laki-laki saja. Tidak ada larangan bagi para suami untuk memiliki beberapa orang istri bahkan mencapai ratusan.
Islam lahir dalam keadaan poligami sudah mentradisi di kalangan bangsa-bangsa di permukaan bumi ini, tetapi tidak ada peraturan yang mengatur serta tidak ada batasannya.  Islam sebagai agama Rammatan Lil ‘Alamin berupaya untuk memberikan perbaikan atas budaya dan tradis yang tidak baik. Islam memebrikan batasan dan syarat-syarat yang cukup ketat dalam berpoligami, yaitu hanya dibatasi empat orang istri saja serta suami harus bisa berlaku adil diantara empat orang istrinya.
B.    POLIGAMI PRA ISLAM
Sebagaimna yang dijelaskan diatas, bahwa jauh sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW yang membawa Islam, Agama Samawi, umat terdahulu telah memperaktekkan poligami. Cukup banyak yang membuktikan kebenaran ini. Hal ini diakui oleh Musthafa al-Siba’i  seperti dikatakannya “ poligami itu sudah ada dikalangan bangsa-bangsa yang hidup pada zaman purba …bangsa Yunani, Cina, India, Babylonia, Assyiria, Mesir dan lain-lain” ia menambahkan “ poligami dikalangan mereka tak terbatas, sehingga mencapai 130 istri bagi seorang suami, malahan salah seorang raja cina ada yang mempunyai istri sebanyak 30.000 (tiga puluh ribu orang)orang.”
Dalam agama yang lain seperti Yahudi dan Kristen juga membolehkan poligami. Sebagian Nabi- Nabi terdahulu juga ikut memperaktekkan poligami. Seperti Nabi Sulaiman mempunyai 700 (tujuh ratus istri).  Nabi Musa juga tidak melarang poligami dan tidak membatasi jumlah sampai berapapun.
Berdasarkan fakta sejarah diatas, poligami yang diperaktekkan oleh masyarakat pada masa sekarang merupakan kelanjutan syariat yang diamalkan oleh umat-umat terdahulu. Kenyataan ini menjadi bukti bahwa poligami sebenarnya bukanlah ajaran agama Islam. Bukan pula Nabi Muhammad yang memploporinya, seperti yang dituduhkan oleh Will Durran di dalam bukunya the Story of Civilization jilid pertama, sebagaimana dikutip Muthahhari “ para teolog di zaman abad-abad pertengahan berpendapat bahwa muhammadlah yang memprakarsai poligami”
Dengan demikian maka jelas pendapat yang dikemukakan oleh para orentalis tidak berdasarkan fakta sejarah yang valid. Islam mensyariatkan kembali peraktek poligami tidak hanya iktu-ikutan dan meneruskan syari’at umat terdahulu, akan tetapi lebih dari itu ingin memberikan sesuatu yang terbaik bagi kehidupan umat manusia di muka bumi ini.
C.    POLIGAMI DALAM ISLAM
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani yakni apolus artinya banyak dan kata gamos artinya perkawinan. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan poligami adalah suatu sistem perkawinan dimana seorang peria pengawini lebih dari seorang wanita dalam waktu yang bersamaan.
Ada beberapa dalil yang dapat dijadikan sandaran tentang pembatasan poligami menjadi empat orang istri. Diantara dalil-dalil tersebut adalah :
وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى ألا تعولوا
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Berdasarkan ayat diatas, manyoritas ulama berpendapat bahwa poligami tidak boleh lebih dari empat orang istri. Pendapat ini didasrkan atas apa yang pernah terjadi pada masa Rasulullah dimana Harist Bin Sabit yang mempunyai istri delapan orang dan ketika dia masuk Islam Nabi menyuruh memilih empat orang istri saja dan menceraikan yang lainnya.  Sementara menurut golongan Syi’ah, poligami boleh lebih dari empat orang istri. Hal ini didasarkan pada Nabi Muhammad yang memiliki istri lebih dari empat orang.
Syarat adil yang harus terpenuhi dalam poligami, secara sepintas bertentangan dengan ayat 129 tersebut diatas. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa manusia tidak akan mampu berlaku adil diantara istri-istrimu.

ولن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء ولو حرصتم فلا تميلوا كل الميل فتذروها كالمعلقة وإن تصلحوا تتقوا فإن الله كان غفورا رحيما
Artinya: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Menurut imam al-Qurthubi, yang dimaksud adil dalam surat an-Nisa’/4:3 adalah keharusan adil dalam hal kasih sayang, hubungan biologis, pergaulan dan pembagian nafkah.
Pendapat al-Qurthubi dibantah oleh sebagian pendapat. Pendapat yang kedua mencoba mengklasifikasikan makna adil dalam dua ayat tersebut diatas.Yang dimaksud adil dalam konteks perkawinan adalah adil dalam hal-hal yang bersifat fisik-material. Sebab keadilan dalam hal inilah yang  berada dalam bingkai kemampuan manusia. Sementara adil dalam ayat kedua adalah adil dalam hal-hal yang bersifat maknawiyah seperti perasaan cinta yang berada di luar kemampuan manusia.
Pembagian keadilan menjadi material dan immaterial merupakan hasil dari perpaduan (al-jam'u wa al-taufĭq)  dua ayat, yaitu al-Nisa' ayat 3 dan 129 yang secara dhahir terkesan kontradiktif. Indikasi dari perpaduan itu adalah ujung dari ayat  129 (falâ tamĭlû kulla al-maili…) yang merupakan amnesti ketuhanan (al-'afwu al-ilâhi) terhadap keharusan berbuat adil dalam hal-hal yang bersifat immaterial.
D.    POLIGAMI DALAM PANDANGAN FIQH KONTEMPORER
1.    Poligami dalam Pandangan Syahrur
Muhammad Syahrur dikenal sebagai tokoh pemikir muslim kontemporer yang banyak melakukan penafsiran terhadap al-Qur’ān. Teori Batas (nadzariyyah al-hudūd) menjadi teori handalnya dalam melakukan penafsiran terhadap setiap tema ayat terutama menyangkut kehidupan sosial umat Islam. Di antaranya adalah persoalan poligami. Dalam analisisnya, Syahrur memulai dengan ayat berikut:
وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى ألا تعولوا
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Syahrur menganalisis ayat di atas dengan  memunculkan dua batas (al-hadd), yaitu hadd fi al-kamm (secara kuantitas) dan hadd fi al-kayf (secara kualitas). Pertama, secara kuantitas, ayat itu menjelaskan bahwa hadd al-adnâ atau jumlah minimal istri yang diperbolehkan syara’ adalah satu, sebab tidak mungkin seseorang beristri separuh. Adapun al-hadd al-a’lā atau jumlah maksimum yang diperbolehkan adalah empat. Sebagaimana ditegaskan dalam ayat di atas, seseorang boleh beristri lebih dari seorang, yakni dua, tiga hingga empat orang. Penyebutan satu persatu jumlah perempuan dalam ayat matsnā wa stulāsta wa rubā, menurut Syahrur, harus dipahami sebagai penyebutan bilangan bulat secara berurutan, karena itu tidak bisa dipahami 2 + 3 + 4 yang berjumlah sembilan. Dengan demikian, melebihi dari jumlah tersebut  berarti dia telah melanggar batasan-batasan (hudūd) yang telah ditetapkan oleh Allah. Pemahaman ini yang telah disepakati selama empat belas abad yang silam, tanpa memperhatikan konteks dan dalam kondisi bagaimana ayat tersebut memberikan batasan (hadd fi al-kayf).
Kedua, hadd fi al-kayf. Yang dimaksud di sini adalah apakah istri tersebut masih dalam kondisi bikr (perawan) atau tsayyib/armalah (janda)? Syahrur mengajak untuk melihat hadd fi al-kayf ini karena ayat yang termaktub dalam surat al-Nisa' ayat 03 tersebut memakai redaksi syarth. Karena itu,  seolah-olah, menurut Syahrur, kalimatnya adalah : “Fankihǔ mâ thaba lakum min al-nisâ’ matsnâ wa thulâtsâ wa rubâ’ …” dengan syarat kalau “ wa in khiftum an lâ tuqsithū fi al-yatâmâ …”. Dengan kata lain, untuk istri pertama tidak disyaratkan adanya hadd fi al-kayf, maka diperbolehkan perawan atau janda, sedangkan pada istri kedua, ketiga dan keempat dipersyaratkan dari armalah (janda yang mempunyi anak yatim). Maka seorang suami yang bermaksud beristri lebih dari satu itu akan menanggung istri dan anak-anaknya yang yatim. Hal ini, menurut Syahrur, akan sesuai dengan pengertian ‘adl yang harus terdiri dari dua sisi, yaitu adil kepada anak-anaknya dari istri pertama dengan anak-anak yatim dari istri-istri berikutnya.
2.    Poligami dalam pandangan Nasr hamid Abu Zayd
Sebagaimana Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zaid adalah salah seorang pemikir kontemporer yang juga concern di bidang Islamic studies, maka isu mengenai poligami tidak luput dari perhatiannya. Dalam melakukan analisis, Abu Zayd juga kembali pada surat al-Nisā' ayat 3. Analisis terhadap persoalan ini dia lakukan melalui tiga langkah:
Pertama, Konteks dari teks itu sendiri. Dia memulai pembahasan ini dengan mempertanyakan terabaikannya makna dari ayat “atau budak-budak perempuan yang kamu miliki” pada potongan ayat tersebut. Yang ia maksudkan adalah, bahwa praktek hukum memiliki tawanan perang atau budak perempuan sebagai selir yang boleh digauli dalam wacana Islam telah hilang selamanya, sementara pada sisi yang lain poligami terus menerus dipertahankan. Padahal, menurutnya, hal itu telah ditetapkan oleh teks yang sama tingkat kejelasan dan ketegasannya.
Kedua, Meletakkan teks dalam konteks al-Quran secara keseluruhan. Tujuan dari langkah ini, bagi Nashr  Hamid, adalah untuk mengungkapkan suatu dimensi makna yang tersembunyi (al-maskut ‘anhu) atau “yang tak terkatakan”. Teks al-Quran sendiri menyarankan untuk hanya memiliki seorang istri jika suami khawatir tidak bisa berbuat adil; “jika kamu takut tidak akan bisa berbuat adil (terhadap mereka) maka seorang saja”. Dalam ayat lain ditegaskan bahwa :
ولن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء ولو حرصتم
Artinya: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian."
Dengan adanya dukungan ayat tersebut, tegas Abu Zaid, bersikap adil terhadap para istri adalah tidak mungkin dilakukan.  Dalam konteks poligami, keadilan adalah satu hal yang prinsip (mabda'). Bolehnya memiliki istri lebih dari satu hingga empat orang istri adalah sebuah hukum, namun hukum tidak bisa dijadikan dasar jika bertentangan dengan prinsip dasar ditegakkannya hukum tersebut. Karena itu, jika antara hokum dan mabda' saling bertentang maka hukum tidak bisa dipertahankan.
Ketiga, dengan mendasarkan secara logis pada dua langkah di atas, Abu Zayd mengusulkan sebuah pembaharuan hukum Islam. (dalam hukum Islam klasik, poligami diklasisifikasikan dalam “hal-hal yang diperbolehkan” (al-mubahah). Pembolehan poligami dalam realitas merupakan “penyempitan” dan transisi terhadap poligami yang lebih luas dan mendahului hukumnya, karena itu tema pembolehan (ibahah), menurut Abu Zayd, tidaklah sesuai karena pembolehan terkait dengan hal yang tidak diperbolehkan oleh teks. Sementara pembolehan poligami dalam al-Quran pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari poligami yang tidak terbatas yang telah dipraktekkan di masa pra Islam.
Dengan demikian, Abu Zayd mengharamkan poligami secara multak dengan memberikan tiga fokus pembahasan di atas tanpa memberi dispensasi hukum meski dalam kondisi darurat.  Hukum ini diambil dari maghzā (signifikansi) ayat-ayat al-Qur’ān yang saling terkait mengenai ketentuan hukum poligami.
3.    Poligami dalam Kompilasi HukumIslam
Poligami dalam KHI diatur dalam pasal 55
(1)    Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan terbatas hanya sampai empat orang istri.
(2)    Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
(3)    Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.
Pasal 56
(1)    Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama.
(2)    Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII peraturan pemerintah No 9 tahun 1975.
(3)    Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari pengadilan agama tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57.
Pengadilan agama hanya akan memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a.    Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
b.    Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.    Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

E.    PENUTUP
Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa  manoritas dari kalangan ulama klasik memperbolehkan poligami selama tidak keluar dari batas-batas atau aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam al-Quran. Sementara ulama kontemporer dalam merespon persoalan poligami sangat beragam karena berangkat dari cara pandang yang berbeda dalam menafsiri ayat-ayat poligami. sebagaimana  pendapat yang dikemukakan oleh Nasr Hamid bahwa poligami sudah tidak bisa diperaktekkan lagi pada masa sekarang.  Sementara menurut Syahrur poligami  poligami diperbolehkan dengan syarat harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
Dalam hukum perkawinan di Indonesia persolan poligami semakin diperketat hukumnya. Hal ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan terhadap perempuan (istri). Syarat yang harus dipenuhi bagi seseorang yang hendak berpoligami diantaranya adalah: (1) Suami harus mendapat izin dari istri pertama dan pengadilan Agama. (2). Ketika istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. Dan Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Serta istri tidak dapat melahirkan keturunan.

 













DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’ān al-Karīm
Anshari, Zakariya, Fathu Al-Wahhab, Bairut: Dar- Al-Fikr, 925,  Juz II,
Ali, M. Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, Masalah-Masalah Kontemporer Hokum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998
Baidan, Nasaruddin, Tafsir Bi Al-Ra’yi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Chuzaimah dan Hafiz Anshary (Ed),  Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus bekerjasama  dengan Lsik, 1996
Derajat, Zakiah, Ilmu Fiqh, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Haikal, Abuduttawab, Rahasia Perkawinan Rasulullah, Poligami Dalam Islam Vs Monogamy Barat Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993.
http://buyaku.blogspot.com/2007/2008/sebenarnya-islam-melawan-poligami.html.
             Akses pada tanggal 29 September 2009.
Katsir, Ibnu, Tafsir Al-Quan Al-‘Adim, Bairut: Maktabah An-Nur Al’ilmiyah, tt, juz I
Kompilsi Hukum Islam, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2001
Nasution, Khairuddin, Riba Dan Poligami Yogyakarta: Pustaka Pelajar dengan ACAdeMIA, 1996.
Nur Ichwan, A New Horizon in Qur'anic Hermeneutic: Nasr Hamid Abu Zayd's Contribution to Critical Qur'anic Scholarship, MA thesis in Islamic Studies, Leiden University the Netherlans, 1999  
Shabuni, Muhammad Aly, Rawai’ Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam, Bairut: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, tt
Siba’y, Musthafa, Almar-Atu Bainal Fiqhi Wal Qanun, Alih Bahasa  Chadidjah Nasution, Wanita Diantara Hukum Islam Dan Perundang-Undangan, Jakarta: bulan bintang, 1977
Sosroatmodjo Arso dan Wasit Aulawi, Perkawinan di indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1978
Syahrur, Muhammad, Al-Kitab Wa-Al-Quran: Qirat Mu’ashirah, Alih Bahasa Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri, Prinsip-Dan Dasar Hermeneutika HukumIslam Kontemporer, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007


 

PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA MUSLIM DAN MATERI PEMBAHARUANNYA.

PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA MUSLIM DAN MATERI PEMBAHARUANNYA.
*oleh: M. Nur Kholis Al Amin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
A.    Indonesia
Berbicara mengenai hukum keluarga Muslim di Indonesia tidak terlepas dari hukum Islam di Indonesia, karena hukum Islam yang berkembang di Indonesia tidak luput dari perjuangan para Ulama’ dan Mujtahid, diantaranya adalah lahirnya teori recptio exit oleh hazairin dan teori receptio a contrario dari sajuti thalib.
Meskipun tidak secara formal mengaku sebagai negara Islam, Indonesia adalah negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia. Upaya konkret pembaruan hukum keluarga di Indonesia di mulai sekitar tahun 1960-an yang berujung dengan lahirnya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Akan tetapi, jauh sebelum itu telah ada upaya-upaya pembaruan hukum keluarga yang berlaku. Misalnya pada tanggal 1 oktober 1950, Menteri Agama membentuk suatu panitia penyelidik yang bertugas meneliiti kembali semua peraturan mengenai perkawinan serta menyusun RUU perkawinan yang sesuai dengan perkembangan zaman. RUU itu selanjutnya diajukan ke DPR oleh pemerintah pada tahun 1958. Sayangnya DPR ketika itu lalu dibekukan melalui dekrit presiden 5 Juli 1959.
Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 merupakan Undang-undang pertama di Indonesia yang mengatur soal perkawinan secara nasional. Sebelum itu urusan perkawinan diatur melalui beragam hukum, yaitu: hukum adat bagi warga negara Indonesia asli; hukum Islam bagi warga negara yang beragama Islam; Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen bagi warga Indnesia yang beragama kristen di Jawa, Minahasa dan Ambon; Kitab Undag-undang Hukum Perdata bagi warga negara Indonesia keturunan Eropa dan Cina; dan peraturan Perkawinan Campuran bagi perkawinan campuran.
Setelah UUP, upaya pembaharuan beriutnya terjadi pada Menteri Agama Munawir Syadzali, ditandai dengan lahirnya KHI pada 10 Juni 1991 yang materinya mencakup aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Jadi, pembaharuan hukum keluarga Islam pada khususnya dan hukum Islam pada umumnya, maka Indonesia termasuk ke dalam negara yang memperbaharui hukum Islam di berbagai bidang, yakni di bidang perkawinan, perceraian, hadhanah, nafkah, waris dan wakaf, poligami .  Mengenai perwakafan Indonesia telah mempositivikasikan ke dalam UU No 41 tahun 2004 tentang wakaf, yang merupakan tindak lanjut dari PP No 28/ 1977 tentang perwakafan tanah milik.  Ini menunjukkan bahwa di Indonesia selain mengatur wakaf didalam Kompilasi Hukum Islam, juga mengatur di dalam UU No. 41/2004 yang sifatnya lebih mengikat.
B.    Malaysia
Orang-orang Melayu di Negeri sembilan, melaka mengikuti UU Mahkamah Melayu Serawak yang mengatur masalah perkawinan dan perceraian. UU Islam di Malaysia adalah batu surat di Terengganu yangberisi tentang hutang piutang, hukuman bagi pelaku zina dan wanita kurang sopan. UU pertama yang berhubungan dengan Islam yang diperkenalkan oleh Inggris di Malaysia adalah Mohammedan Marriage Ordinance, No. V tahun 1880, setelah Malaysia merdeka maka Malaysia mempunyai hukumnya sendiri mengenai masalah-masalah perkawinan disetiap Negeri di Malaysia yang ditetapkan dalam Enakmen atau Pentadbiran Agama Islam. Dari sub bahasan Enakmen, maka dapat kita ketahui bahwa negara malaysia melakukan pembaharuan bukan hanya dalam bidang perkawinan dan perceraian, akan tetapi juga dalam masalah keuangan, baitul mal, zakat, wakaf, masjid, pindah agama, nafkah, nazar, amanah dan pungutan khairat.
C.    Brunei Darussalam
Undang-undang Keluarga Islam Brunei Darussalam diatur pada UU Majlis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi No. 20 Tahun 1956, dimana UU Keluarga Islam secara khusus diatur dalam 29 bab (pasal) saja, yaitu di bawah judul Marriage and Divorce pada bagian VI, yakni pasal 134-154. Sedang judul Maitenance of Dependants pada bagaian VII, mulai dari bab 157-163.
Pada tahun 1984 Brunei Darussalam memperbaharui hukum keluarganya yang dikenal dengan Hukum Brunei disi revisi tahun 1984 (laws of Brunei Revisied Edition 1984). Dalam hukum Brunei ini ada beberapa bagian yang mengatur perkawinan dan perceraian, yakni:
1.    Bagian 76 (chapter 76) tentang perkawinan
2.    Bagian 77 (chapter 77) tentang Majlis Agama dan Hakim Pengadilan, dan
3.    Bagian 124 (chapter 124) tentang Pendaftaran Perkawinan.
Pada tahun 1984 Brunei Darussalam melakukan revisi terhadap UU Brunei (Revision Laws of Brunei) dengan mengganti nama UU Majlis Ugama Islam dan Mahkamah kadi No. 20. Tahun 1956 menjadi Akta Majlis Ugama dan Mahkamah Kadi Penggal 77 (AKUMKP 77) dan beberapa perubahan kecil.  Perlu dicatat, bahwa pembaharuan pada tahun 1984, selain dalam bidang perkawinan dan perceraian juga menyangkut tentang Warisan dan Perwalian (Succession and Regency), yang terdiri dari 8 bab dan 32 pasal. Serta chapter 120 (bagian 120) UU Brunei revisi 1984 tentang Perlindungan terhadap Anak Perempuan Kecil dan Anak Perempauan Dewasa (Women and Girls Protection), yang terdiri dari 26 pasal.
D.    Singapore.
UU keluarga yang berlaku di singapore sama dengan UU yang berlaku di Pulau Pinang dan Melaka, dan pada Tahun 1880 Inggris mengakui keberadaan hukum perkawinan dan perceraian Islam dalam Mohammedan Marriage Ordinance, No. V tahun 1880. UU ini sekaligus menjadi UU pertama yang diperkenalkan oleh penjajah Inggris mengenai hukum Islam, setelah mereka mencampuri urusan pemerintah di daerah negeri Melayu. Undang-undang ini terdiri dari 4 bab dan 33 pasal. Pembaharan UU tersebut terjadi dalam beberapa kali, yaitu:
•    Pada tahun 1894; Mohamedan Marriage Ordinance (Amendment), No. XIII tahun 1894. Pada perubahan tersebut tidak diperjelas materi apa yang dirubah.
•    Pada tahun 1902; Ordinance No. XXXIV of 1902, memberikan kekuasaan pada Governor (pemegang Mahkamah Agung) untuk melantik Pendaftar (Registart) Perkawinan di masing-masing negeri Selat, dengan kata lain esensi perubahan adalah pada perubahan pada tata cara pendaftaran perkawinan.
•    Pada tahun 1908; Ordinance XXV/ 1908, yang berisi kewajiban pendaftaran perkawinan dan perceraian, governor berkuasa untuk melantik dan memecat kadi, kadi sebagai pendaftar perkawinan dan perceraian, masalah nafkah, dan masalah yang menyangkut perkawinan dan perceraian.  Dan pembaharuan yang bersifat perbaikan pada tahun 1909, 1917, 1920, 1923, 1926, 1934, 1936. Adapun UU Keuarga Islam pertama yang mengatur tentang perkawinan dan perceraian setelah singapore menjadi negara sendiri  adalah the Muslim Ordinance 1957 (yang isinya tidak jauh beda denagn UU sebelumnya). Kemudian UU tersebut mengalami beberapa kali pembaharuan (amandemen) yaitu pada; 1958, 1960, 1966 yang dalam bahasa Inggris disebut the administration of Muslim Law Act (AMLA) yag isinya mencakup: perkawinan, perceraian (talak, cerai, fasakh dan khuluk), pertunangan, pembagian harta bersama, pembayaran mas kawin, nafkah, mut’ah dan pemeliharaan anak. Jadi dapat ditarik kesimpulan, bahwa UU Keluarga Muslim di Singapore pernah mengalami pembaharuan yang meliputi: perkawinan, perceraian, harta warisan, dan pemeliharaan anak, serta hal yang mendasar adalah masalah administrasi perkawinan dan perceraian.
E.    Philipine.
Hukum Keluarga Islam pertama yang diberlakukan secara khusus bagi muslim philipina adalah Code of Muslim Personal Law of the Philiphines pada tahun 1977. Kodifikasi ini ditetapkan berdasarkan Dekrit presiden Ferdinand E. Marcos No. 1083 pada 4 pebruari 1977, kemudian pernah diamandemen pada tahun 1987 dengan lahirnya Executive Order No. 209/ 1987 dan diamandemen lagi dengan No. 227/ 1987. Jadi pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Philiphine berdasarkan dekrit presiden, dan menjadi sebuah kodifikasi “Executive Order No. 227/ 1987.
F.    Negara-negara Islam di Timor Tengah
Tunisia, ada dua hal yang menonjol dalam pembaruan hukum keluarga Tunisia, yakni keharusan perceraian di pengadilan dan larangan poligami secara mutlak. Hal ini diatur dalam Majallah al Ahwal Al Syakhsiyyah No. 66/ 1956 (yang mencakup perkawinan, perceraian dan pemeliharaan anak) pasal 18. Adapun perubahan, penambahan, dan modifikasi yaitu pada tahun 1959, 1964, 1981, dan 1993.
Syria, hukum keluarga diatur dalam Qanun al-akhwal al-syakhsiyyah 1953 yang diamandemen pada tahun 1975 dengan maksud unttuk menjamin hak-hak perempuan dalam pandangan hukum. Pembaharuan hukum keluarga Syria, antara lain terkait dengan syarat usia menikah, pertunangan, poligami, perceraian, wasiat dan warisan.
Mesir, pembaharuan hukum keluarga Mesir dimulai tahun 1874 dan perubahan secara radikal 1920, setelah itu terjadi berulang kali  amandemen antara lain tahun 1929, 1979 dan 1985. Pembaharuan yang dimaksud, antara lain terkait dengan poligami, wasiat wajibah, warisan dan pengasuhan anak. Di samping itu hukum keluarga mesir  juga memberikan ancaman hukuman terhadap orang yang memberikan pengakuan palsu kepada pegawai pencatat perkawinan tentang status perkawinan dan alamat palsu.
Yordania, pembaharuan hukum keluarga di Yordania yang terdapat dalam UU Qonun al-akhwal al-syaksiyyah (Law of Personal Status) No. 61/ 1976 terkait dengan batas usia perkawinan, perjanjian perkawinan, perkawinan beda agama, pencatatan perkawinan, perceraian dan wasiat wajibah.
Irak, pembaharuan hukum keluarga Irak dimulai tahun 1947 dengan lahirnya Qanun al-akhwal al-syakhsiyyah, tetapi baru resmi baru resmi diumumkan tahun 1959 (No. 188 Tahun 1959). Undang-undang tersebut kemudian diamandemen pada tahun 1963, 1978, dan 1983. Pembaharuan hukum keluarga tersebut, antara lain terkait dengan masalah status wali, pemberian mahar, wasiat wajibah, dan pengasuhan anak (hadhanah).

Daftar Pustaka
Azizy, A. Qodry, Eklektisisme Hukum Nasional; Kompetensi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2004
Muhammad Zain & Muhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis, Jakarta: Grahacipta, 2005.
Yazid Afandi, Outline Kuliah Zakat dan Wakaf, 2008
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia: dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, Yogyakarta: Tazzafa & Academia, 2009
Nasution, Khoiruddin, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, Yogyakarta: Tazzafa & Academia, 2007.
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam, Surabaya: Karya Anda, t.t

KHIYAAR DALAM PEREKONOMIAN ISLAM

KHIYᾹR DALAM PEREKONOMIAN ISLAM
*oleh: M. Nur Kholis Al Amin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum Islam tidak mengenal asas kebebasan berkontrak (the liberty of contract), akan tetapi memberikan porsi yang cukup besar untuk kebebasan dalam jenis kontrak tertentu.  Kontrak jual beli menjadi sempurna (tamm) dengan terjadinya penyerahan barang (taqābud).
Dalam kehidupan transaksi jual-beli di masyarakat terdapat suatu frasa yang sudah menjadi istilah populer, yakni “pembeli adalah raja”. Asumsi tersebut memberikan relevansi bahwa seorang “calon” pembeli mempunyai hak-haknya sebagai pembeli, yang salah satunya adalah hak untuk memilih (optie). Dalam hukum Islam, istilah tersebut termasuk ke dalam ranah muamalat / ekonomi syariah yang biasa disebut dengan khiyār.
Dalam paper ini penulis mencoba menjelaskan tentang khiyār sebagai salah satu dari lembaga perekonomian Islam, yakni ekonomi syariah
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Khiyār.
Hak untuk memilih (khiyār, optie) adalah hak secara unilateral untuk membatalkan atau meneruskan suatu kontrak, khusunya kontrak jual beli.
Abī ‘Abdil Mu’tī dalam kitabnya Nihāyatuzzain mendefinisikan khiyār dengan.
وهو طلب خير الأمرين,وهما إمضاء البيع و فسخه.
“khiyār adalah memilih diantara dua perkara (dalam transaksi jual beli), yakni meneruskan jual beli tersebut atau membatalkannya.
Jadi, dalam khiyār diperlukan (disyaratkan) kata sepakat untuk melakukannya antara dua pihak, yakni mutabāya’āni (penjual dan pembeli).
B.    Dasar Hukum Khiyār.
إذا تبايع الرجلان,فكل رجل منهما بالخيار مالم يتفرقا وكان جميعا,أو يخير احدهما الآخر,فإن خير احدهما الآخر فتبايع على ذلك فقد وجب البيع, وإن تفرقا بعد ان تبايعا ولم يترك واحد منهما البيع فقد وجب البيع. متفق عليه,و اللفظ لمسلم.
Apabila ada dua orang berjual beli, maka tiap-tiap seorang dari mereka berhak khiyar selama mereka tidak terpisah dan masih bersama-sama, atau selama seorang dari mereka menentukan pada yang lainnya. Jika seorang dari pada mereka menetapkan khiyar kepada yang lainnya, lalu mereka berjual beli atas (ketetapan) tersebut maka jadilah jual beli itu; dan jika mereka berpisah sesudah jual beli, dan seorang dari mereka tidak meninggalkan benda yang dijual belikannya itu, maka jadilah jual beli itu.
C.    Syarat-syarat Khiyār.
1.    Al bāi’ (penjual): yakni orang yang menjual barang dagangannya
2.    Al Musytarī (pembeli).
3.    Objek yang diperjual belikan.
4.    Ikrar khiyār ketika masih dalam satu tempat (antara penjual dan pembeli)
D.    Macam-macam Khiyār.
Khiyār ada tiga (3) macam, yakni khiyār majlis, khiyar syarat (yang biasa disebut dengan khiyar Tasyahhi), dan khiyar ‘Aib (atau yang biasa disebut dengan khiyar Naqisah).
1.    Khiyār Majlis
Khiyār yang dilakukan oleh penjual dan pembeli ketika masih berada di tempat transaksi tersebut.  Khiyar majlis sah menjadi milik si penjual dan si pembeli semenjak dilangsungkannya akad jual beli hingga mereka berpisah, selama mereka berdua tidak mengadakan kesepakatan untuk tidak ada khiyar, atau kesepakatan untuk menggugurkan hak khiyar setelah dilangsungkannya akad jual beli atau seorang di antara keduanya menggugurkan hak khiyarnya, sehingga hanya seorang yang memiliki hak khiyar.
2.    Khiyār syarat
Khiyar yang dilakukan oleh penjual dan pembeli dengan mengadakan kesepakatan menentukan syarat, atau salah satu di antara keduanya menentukan hak khiyar sampai waktu tertentu, maka ini diperbolehkan meskipun rentang waktu berlakunya hak khiyar tersebut cukup lama (ada yang menyatakan tiga hari; يشترطا الخيار فى أنواع المبيع الى ثلاثة ايام.
3.    Khiyar ‘Aib
Memilih untuk melangsungkan akad jual beli atau membatalkannya dikarenakan barang tersebut terdapat kekurangan atau cacat yang tidak di ketahui oleh pembelinya pada waktu melakukan jual beli.Pembeli boleh mengembalikannya dan penjual harus menerimanya.
E.    Tujuan dan manfaat Khiyār.
Khiyar yang merupakan sebagian dari prinsip perokonomian Islam mempunyai tujuan dan manfaatnya, khususnya bagi pihak-pihak yang mengadakan transaksi, tujuan dan manfaat tersebut menurut penulis antara lain:
a.    Dapat terealisasikannya prinsip-prinsip ekonomi Islam, yakni prinsip sama-sama suka/ ridha"انت راض".
b.    Pembeli bisa mendapatkan barang yang benar-benar disukai, sesuai dengan prinsip mu’āwadhah.
c.    Menghindarkan dari unsur-unsur ghurūr (penipuan).
d.    Memelihara hubungan baik antara penjual dan pembeli.
e.    Terbebas dari riba dan klausul yang fasid.
BAB III
PENUTUP
Dalam perekonomian Islam mengenal adanya hak optie yang biasa disebut dengan khiyār. Keberadaan dan pelegalan khiyar dalam transaksi jual beli tidak terlepas dari prinsip-prinsip perekonomian Islam, yakni terbebas dari jual beli yang terdapat ghurūr, sama-sama suka dan sesuai dengan prinsip saling menguntungkan. Penklasifikasian khiyār dalam perekonomian Islam yang diaplikasikan dalam transaksi jual beli pada umumnya dibagi ke dalam 3 macam; Khiyār majlis, khiyar syarat (yang biasa disebut dengan khiyar Tasyahhi), dan khiyar ‘Aib (atau yang biasa disebut dengan khiyar Naqisah).
Akan tetapi dengan terus berkembangnya sistem perekonomian global, menjadikan sempitnya lapangan khiyar, hal ini dapat dilihat pada sistem keberadaan nota yang tertuliskan “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan lagi”, beberapa barang yang telah diberikan label harga, dan beberapa peraturan lain yang dapat merugikan konsumen. Inilah salah satu dampak keberadaan ekonomi global. Tinggal bagaimana pilihan kita, terbawa arus tersebut atau berimprovisasi dalam menerapkan sistem perekonomian Islam?
DAFTAR PUSTAKA
Schacht, Joseph, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa: Joko Supomo, Yogyakarta: Islamika, 2003.
Muhammad bin ‘Umar, Abī ‘Abdil Mu’ti , Nihāyatuz Zain, Surabaya: Al Hidayah, t.t.
‘Asqalāni , Ibnu Hajar Al-, Bulughul Marām, Alih Bahasa, A. Hassan, Bandung: CV. Diponegoro, 1991.
Muhammad bin Qāsim, Abī ‘Abdillah, Tausyīh ‘alā Ibnu Qāsim,-----: Maktabah Muhammad bin Syarif, t.t.

RIBA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI SYARI'AH

RIBA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI SYARI’AH
*oleh: M. Nur Kholis Al Amin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

BAB I
PENDAHULUAN
Hukum Islam mengatur tatacara melaksanakan kehidupan yang mencakup bidang ibadat dan kemasyarakatan, sedang tatacara berkeyakinan kepada Tuhan dan sebagainya serta tatacara bertingkah laku dalam ukuran-ukuran akhlak, lazimnya tidak dibicarakan dalam hukum Islam.
Dengan demikian dalam hukum Islam terdapat aturan-aturan tentang tatacara melakukan ibadat, perkawinan, kewarisan, perjanjian-perjanjian muamalat, hidup bernegara yang mencakup kepidanaan, ketatanegaraan, hubungan antar negara dan sebagainya.
Dalam makalah ini akan membahas tentang salah satu bagian dari perjanjian muamalat yang dilarang oleh agama dalam hutang piutang, yakni riba.
Islam sangat menjunjung tinggi suatu pekerjaan suatu pekerjaan yang dilakukan oleh seorang hambanya dengan tangannya sendiri (kemampuan) dan begitu pula dengan “dagang” jual beli sebagaimana tercermin dalam hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Al Bazār:
عن رفاعة بن رافع أن النبي ص سئل: أي الكسب اطيب؟ قال: عمل الرجل بيده, وكل بيع مبرور. رواه البزار وصححه الحاكم.
Hadis di atas menegaskan bahwa bentuk jual beli yang diharapkan oleh agama adalah bentuk jual beli yang sah, sahih dan sehat tanpa adanya pihak yang dirugikan, hal ini selaras dengan akad hutang piutang yang harus dilakukan dengan bentuk yang sehat pula. Sebagaimana tercermin dalam ayat Al Quran sebagai berikut:
يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل....
Dengan demikian bentuk hutang piutang yang berlawanan dengan bentuk hutang piutang yang sehat dilarang oleh Agama. Oleh karena itu, pembahasan “Riba” dalam konteks kekinian perlu dipertegas lagi dalam menggali hukum riba menurut perspektif ekonomi syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Riba
Inti makna kata “riba” secara leksikal adalah bertambah, membesar, menjadi tambah banyak, tumbuh, berkembang atau naik. Kata kerja lampau “rabā” artinya “bertambah” dan ‘berkembang’. Rabā al-māl artinya ‘harta itu bertambah’ atau ‘berkembang’.
Secara terminologi Joseph Schacht mendefinisikan ribā sebagai keuntungan tanpa adanya kontrak nilai yang telah diisyaratkan oleh satu pihak yang mengadakan kontrak dalam mempertukarkan dua jenis barang yang bernilai.  Sedangkan menurut ulama’ syafi’iyyah, sebagaimana yang dikutip oleh Syamsul Anwar ribā adalah “melakukan transaksi atas suatu objek tertentu yang pada waktu melakukannya tidak diketahui kesamaannya menurut ukuran syar’i [artinya ada kelebihan] atau dengan menunda penyerahan kedua atau salah satu objek.
Profesor Syamsul Anwar mendefinisikan riba adalah kelebihan (tambahan) yang diperoleh dan tidak ada imbalannya serta dapat dituntut oleh salah satu pihak dalam suatu proses transaksi yang bersifat timbal balik.
B.    Riba dalam Konteks Kekinian
Dengan perkembangan zaman dan disertai pula dengan perkembangan transaksi keuangan dalam dunia modern ini, tampaknya ada perbedaan penafsiran tentang riba, hal ini dapat di ketahui dengan adanya sistem bunga di beberapa institusi bahkan pribadi seseorang yang melakukan transaksi hutang piutang atau pinjaman.
Diantara pandangan-pandangan tentang riba ada yang menyatakan bahwa yang termasuk adalah suatu tambahan yang berlipat ganda ‘أضعا فا مضاعفة’ sehingga melahirkan pemahaman bahwa adanya tambahan yang tidak berlipat ganda, dalam artian tidak terlalu banyak [seperti bunga yang persennya kecil untuk pinjaman] bukanlah termasuk riba. Namun adapula yang menyatakan bahwa segala bentuk tambahan atas poko pinjaman ‘الزيادة الإستعلالية’ adalah riba.
Dengan adanya pandangan tersebut maka perlu dipertegas bagaimanakah riba menurut ekonomi syariah.
C.    Riba dalam Ekonomi Syariah
1.    Ekonomi Syariah
Hukum Islam memiliki arti penting dalam kehidupan setiap muslim, meliputi juga dengan transaksi keuangan yang dilakukan oleh setiap muslim di setiap harinya. Terlebih, di zaman modern ini sistem kapitalis telah gagal menerapkan metode ekonominya dan seiring dengan kemunduran sistem ekonomi kapital tersebut, lahir suatu sistem ekonomi baru yang dikenal dengan sistem ekonomi Islam atau sistem ekonomi syariah.
Sistem ekonomi syariah adalah sistem ekonomi yang berpegang pada kumpulan prinsip tentang ekonomi yang diambil dari al Quran dan al Sunnah dan fondasi ekonomi yang dibangun atas pokok-pokok itu dengan mempertimbangkan lingkungan dan waktu.
2.    Riba menurut Ekonomi Syariah
Riba yang merupakan tambahan dari suatu pokok merupakan sesuatu yang tidak asing lagi terjadi dalam praktik perjanjian di masyarakat. Oleh karena itu, dengan kelahiran atau teraplikatifkannya sistem ekonomi syariah, seperti akad murabahah, rahn syariah diharapkan agar praktik riba secara perlahan dapat dihilangkan dalam kehidupan masyarakat yang membudaya.
Pada dasarnya, Islam dalam perjanjian perekonomian seperti jual beli, hutang piutang dan semacamnya telah memberikan nilai dasar yang sangat penting untuk dipegangi oleh setiap muslim, yakni لاضرر ولا ضرر [tidak ada perbuatan merugikan dan membalas perbuatan merugikan] dan يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل [larangan memakan harta orang lain dengan cara yang bathil].
Dari prinsip di atas maka telah jelas bahwa riba yang merupakan pengambilan keuntungan secara tidak sehat dalam sistem perekonomian dan menimbulkan kerugian salah satu pihak, dapat divonis keharaman untuk melakukannya. Dengan demikian, dalam ekonomi syariah riba secara tegas di haramkan.

BAB III
PENUTUP
Riba sebagai salah satu praktik sistem perekonomian sudah terjadi sejak sebelum datangnya Islam. Namun, sampai pada saat ini riba masih menyelimuti dari berbagai praktik perekonomian pada masyarakat modern.
Adapun definisi riba juga berkembang di saat era globalisasi ini, sehingga konsep riba menjadi kabur, khususnya pada masalah bunga (interest) yang akhir-akhir ini dipraktikkan oleh lembaga atau institusi-institusi baik institusi keuangan ataupun institusi perdagangan (bank memberikan bunga; dealer memberikan bunga tambahan pada sistem kredit), hal tersebut menjadikan wacana baru dalam hukum Islam akan adanya pengklasifikasian ke dalam bentuk riba atau bukan? Bahkan masyarakat sudah terbiasa dengan sistem tersebut, yakni transaksi tersebut dilakukan dengan "انت راض" sama-sama sepakat. Inilah pe er untuk para akademisi hukum Islam dalam menanggapi hal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: RM Books, 2007
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Adat Bagi Umat Islam,Yogyakarta: Nur cahaya, 1983.
Ibnu Hajar Al ‘Asqalāni, Bulughul Marām, Alih Bahasa, A. Hassan, Bandung: CV. Diponegoro, 1991.
Muhraji, Dahwan, materi yang di sampaikan pada perkuliahan ekonomi syariah, 10 September 2009.
Schacht, Joseph, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa: Joko Supomo, Yogyakarta: Islamika, 2003.

HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

M. NUR KHOLIS AL AMIN
AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH (06350029)

BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Aristoteles (384 SM), “Suatu negara yang baik adalah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum”. Adapun cirin negara yang berkonstitusi adalah: pemerintahan yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan konstitusi.  Oleh karena itu, Indonesia yang merupakan negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)  yang terdiri dari lembaga-lembaga yudikatif, eksekutif dan legisatif dituntut agar dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Lembaga legislatif dituntut untuk dapat membuat kajian-kajian tentang legal draft suatu peraturan perundang-undangan dengan baik. Dalam hukum yang berlaku di Indonesia sebagai negara yang berprinsipkan sebagai negara hukum (rechtsstaat) mengandung konsekuensi adanya supremasi hukum, yaitu setiap peraturan perundangan harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Indonesia dalam penetapan pembuatan hukum dikenal dengan teori hierarchie atau pertingkatan peraturan perundangan. Pertingkatan peraturan perundang-undangan ini membentuk kerangka formal penjabaran Pancasila dan Undang-undang Dasar ke dalam peraturan perundang-undangan.  Untuk itu dalam pembuatan peraturan perundang-undangan perlu diperhatikan “harmonisasi peraturan perundang-undangan”, dalam paper ini akan sedikit memberikan konstribusi tentang harmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi
Harmonisasi dalam Kamus Ilmiah Populer di definisikan sebagai pengharmonisan, penyelarasan, dan penyerasian.  Korelasi kepada peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini adalah pembuatan peraturan perundang-undangan adalah bahwa peraturan perundang-undangan yang di draft (di rancang/di naskah) harus sesuai, selaras dengan aturan-aturan pembuatannya, yang meliputi pada asas-asas perundang-undangan, khususnya pada asas tingkat hirarki, lex specialis derogat lex generalis, lex posterriori derogat lex priori, dan sebagainya.
B.    Sinkronisasi Hukum Positif dalam Pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
Sinkronisasi merupakan salah satu langkah untuk melihat suatu peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain apabila dilihar dari sudut vertikal atau hierarki peraturang perundang-undangan yang ada.
Adapun bentuk hierarki peraturan perundang-undangan adalah:
1)    Undang-undang Dasar 1945.
2)    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia.
3)    Undang-undang.
4)    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
5)    Peraturan Pemerintah.
6)    Keputusan Presiden.
7)    Peraturan Daerah.
Dengan memperhatikan hierarki di atas maka untuk menciptakan atau merancang suatu peraturan perundangan harus sesuai dengan sistematika tersebut agar terciptanya peraturan perundangan yang harmonis.
C.    Tata Hukum Nasional Yang Baik dan Landasan Dasar Perundang-undangan.
Dalam pembuatan Peraturan Perundang-undangan, untuk terealisasikan sistem yang harmonis maka perlu diperhatikan tata hukum nasional yang baik, yang diantaranya:
1)    Sumber dasar hukum yaitu Pancasila
2)    Cita-cita hukum nasional
3)    Politik hukum nasional
4)    Pertingkatan hukum nasional
5)    Mekanisme pengembangan hukum nasional
6)    Lembaga yang menangani hukum nasional
7)    Kesadaran hukum masyarakat.
Dari tujuh poin di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa tata hukum nasional yang baik adalah hukum yang berlandaskan akan tiga landasan dasar , yakni:
1)    Landasan Filosofis
Landasan ini dapat ditemukan pada sumber dasar hukum, yakni ideologi bangsa Indonesia (Pancasila), dan cita-cita hukum nasional (ketertiban, keamanan dan keadilan).
2)    Landasan Yuridis.
Landasan ini dapat ditemukan pada pertingkatan hukum nasional, mekanisme pengembangan hukum nasional dan lembaga yang menangani hukum nasional. Jadi, landasan yuridis ini adalah landasan yang menuntut adanya persyaratan formal, tidak bertentangan (sesuai) dengan aturan yang berlaku di Indonesia secara sah.
3)    Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan landasan yang harus memperhatikan nilai yang diterapkan dan diterima oleh masyarakat. Dalam poin di atas dapat ditemukan pada politik hukum nasional dan kesadaran hukum masyarakat.
Dari paparan di atas telah jelas, bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan akan dapat terealisasikan ketika sesuai dengan sistem konstitusi yang dijelaskan dalam Penjelasan UUD 1945, UUD 1945 adalah bentuk peraturan perundang-undangan yang tertinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan perundang-undangan bawahan dalam negara, dan sesuai  pula dengan prinsip Negara Hukum, yakni setiap peraturan perundang-undangan harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatannya.
BAB III
PENUTUP
Harmonisasi peraturan perundang-undangan merupakan keserasian antara peraturan perundang-undangan antara yang satu dengan yang lainnya, baik yang berbentuk vertikal (hierarki perundang-undangan) ataupun horizontal (perundang-undangan yang sederajat). Keserasian tersebut, yakni tidak ada pertentangan antara peraturan yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi peraturan yang satu dengan yang lainnya saling memperkuat ataupun mempertegas dan memperjelas.
Dengan demikian pembuatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan harmonisasi peraturan perundang-undangan, dengan tidak terlepas dari tiga landasan atau dasar pembuatan peraturan perundang-undangan, yakni; landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan sosiologis.

DAFTAR PUSTAKA
Fatimah, Siti, Perkuliahan Hukum Tata Negara, 2008.
Fatimah, Siti, Praktik Judicial Riview di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Halim, Abdul, Materi Hukum Adat; Landasan berlakunya Hukum Adat, 12 September 2008.
Maulana, Acmad, dkk, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Yogyakarta: Absolut, 2003.
Ruchiyatun, Materi Kuliah Legal Drafting, 2009.
Ruchiyatun, Materi Legal Drafting; Landasan/ Dasar Peraturan Perundang-undangan, 21 November 2009.
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Wahjono, Padmo, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.

Wednesday, September 15, 2010

Batasan HAM

banyak dari entitas masyarakat, dewasa ini mengagung agungkan akan Hak Asazi Manusia. namun, pada kenyataannya kebebasan tersebut banyak difahami oleh masyarakat dengan kebebasan mutlak. padahal, sebagaimana kita tahu, bahwa manusia hidup tidaklah sendirian, namun berkumpul membentuk suatu masyarakat yang satu yakni masyarakat yang bernegara, negara kesatuan Indonesia.
kembali pada permasalahan, HAM yang diagung-agungkan tersebut ternyata banyak kesalahan penafsiran dari person tertentu, sehingga tidak jarang lagi HAM yang tadinya menjadi dan disadari penuh sebagai hak asazi mutlak bagi dirinya ternyata "perbuatan"nya tersebut merugikan orang lain.
muncullah pertanyaan yang signifikan, bagaimanakah pengaplikasian dan batasan HAM seorang individu??